Sabtu, 20 Agustus 2011

TIKUS MATI DI LUMBUNG PADI


Oleh : Wiwin Efrizal, SST Gizi
Ahli Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
 
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita dari Negeri Cendana, propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengabarkan pada kita kisah sedih puluhan Balita yang menderita busung lapar. Tragedy ini menurut Menteri Kesehatan RI merupakan kisah klasik yang telah berlangsung sejak dulu, meskipun tidak pernah jelas kapan kasus ini muncul pertama kali di Indonesia. Peristiwa yang terjadi di Propinsi NTT tersebut, sebenarnya juga terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia yang tercinta ini, meskipun telah merdeka sejak 66 tahun yang lalu.
Berdasarkan berita yang dikutip dari www.sehatnews.com, tanggal 18/07/2011 pukul 13:19:00 diinformasikan bahwa sebanyak 1.500 atau sekitar lima hingga enam persen balita di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur, menderita gizi buruk, dari jumlah keseluruhan balita yang ada di wilayah tersebut, sebanyak 33.000 balita. Jumlah ini belum ditambahkan dengan yang ada di kabupaten lain dalam wilayah NTT atau provinsi lain di Indonesia. Indonesia yang terkenal sebagai negeri subur makmur sehingga tongkat kayupun jadi tanaman di masa kemerdekaannya yang ke 66 tahun ini, belum sanggup mengentaskan gizi buruk ke titik nadir, hingga bagaikan “Tikus mati di lumbung padi”.
Alkisah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab, beliau dikenal sebagai khalifah yang sering meronda keliling negeri pada malam hari untuk melihat situasi dan kondisi rakyatnya. Pada suatu malam, Umar lewat di depan sebuah gubuk dan mendengarkan tangisan beberapa orang anak. Dengan mengendap-endap, Umar mendekati gubuk tersebut agar tidak ketahuan penghuninya. Dari dalam gubuk, Umar mendengarkan dengan jelas tangisan beberapa orang anak yang meminta makanan kepada ibunya. Sang ibu mencoba menghibur anaknya dengan mengatakan bahwa makanan sedang dimasak dan sebentar lagi akan dihidangkan. Pada mulanya Umar lega mendengarkan penjelasan sang Ibu, tetapi setelah beberapa jam makanan tersebut belum juga disajikan dan sang Ibu selalu memberikan jawaban yang sama bila anaknya bertanya sambil menangis.
Umar sangat heran dan bertanya di dalam hati, apa gerangan yang dimasak sang Ibu. Rasa penasaran itu terus ada meskipun anak-anak si Ibu telah diam karena kelelahan dan kelaparan. Umar mencoba mendekat ke arah dapur dan mengintip masakan sang Ibu. Umar sangat terkejut ketika mengetahui bahwa yang dimasak sang Ibu hanyalah sebongkah batu yang tidak akan mungkin masak sampai kapanpun. Keesokannya Umar memerintahkan agar mengirimkan sekarung gandum ke rumah tersebut, agar sang Ibu dapat memasaknya untuk memberi makan anak-anaknya.
Dari kisah ini kita dapat mengetahui bahwa kurang gizi bisa saja disebabkan oleh tidak tersedianya makanan di rumah tangga. Selain itu, dari kisah tersebut kita juga mengetahui bahwa jumlah anak dan kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kejadian kurang gizi. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman dalam Al Quran :

 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Q ; 4 ; 9)

Menurut Ahli Gizi, kurang gizi disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu factor makanan dan factor infeksi. Ketersediaan makanan di tingkat rumah tangga dan perilaku atau pola asuh ibu merupakan segi dominant yang mempengaruhi factor makanan, sedangkan tingkat pelayanan kesehatan, perilaku sehat, dan kesehatan lingkungan merupakan segi dominant yang mempengaruhi factor infeksi.
Meskipun negeri kita ibarat Lumbung padi dan Kolam susu, sehingga tongkat kayupun dapat menjadi tanaman, kita menyadari bahwa kekurangan gizi mungkin saja terjadi. Ketidak-rataan dalam tingkat ekonomi menjadi salah satu problema dasar dalam pemenuhan kebutuhan gizi bagi masyarakat miskin. Problema tersebut dalam Islam telah diupayakan untuk diantisipasi dengan mengembangkan zakat, infak dan sadaqah, dimana pada prinsipnya si Mampu memberikan bantuan kepada si Miskin, karena menyadari bahwa dalam harta si Mampu sesungguhnya sebagiannya tersimpan hak si Miskin.
Apabila zakat telah ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat kita dengan baik dan benar, maka Insya Allah SWT, kita dapat mengatasi masalah kurang gizi ini. Dengan zakat diharapkan kita tidak hanya meningkatkan tingkat ekonomi saja tetapi juga tingkat pendidikan. Umumnya zakat pada masa sekarang lebih banyak diberikan kepada yang berhak dalam bentuk barang atau uang, padahal sebaiknya kita memberikan zakat kepada yang berhak bagaikan tuntunan pepatah “Memberikan kail jauh lebih baik daripada memberikan ikan”.
Sebagaimana kisah Umar di atas, kita memahami apabila Umar memberikan bantuan berupa sekarung gandum kepada sang Ibu, tetapi bantuan itu hanya bersifat sementara, karena apabila gandum telah habis, maka risiko kelaparan akan mungkin terjadi lagi. Hal itu mungkin tidak akan terjadi apabila Umar juga membantu sang Ibu dengan memberikan modal berdagang atau memberikan pekerjaan kepada sang Ibu tanpa harus meninggalkan anak-anaknya. 
“Demi, sesungguhnya akan Kami uji kamu dengan suatu cobaan, yaitu ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta, manusia dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang sabar atas cobaan itu”  (Q ; 2 ; 155)
 Kejadian kelaparan di daerah penghasil pangan merupakan suatu hal yang sangat ironis. Kejadian tersebut dapat kita cegah, apabila kita semua memberikan rasa kepedulian kita pada sesama. Kepedulian itu diharapkan tidak hanya ditunjukkan oleh sesama rakyat biasa, tetapi juga kepedulian Sang Pemimpin kepada yang dipimpin juga sangat memberikan arti. Bagaikan kisah Umar, kepekaan Sang Pemimpin dalam melihat penderitaan rakyatnya akan membantunya dalam mewujudkan negeri aman, tentram kerta raharja.
Keterlibatan semua sector yang terkait di bawah kendali Sang Pemimpin yang arif dan bijaksana, insya Allah akan mampu menuntaskan masalah ini. Kita mungkin harus belajar dari negara dan rakyat Jepang yang dengan kebersamaan dan kepedulian, mampu mengangkat negara dan kesejahteraan rakyatnya dari negara yang kalah perang dan terkapar dalam kemiskinan menjadi negara yang maju dan sejahtera.
Anak-anak adalah ujian Allah SWT, oleh karena itu, tugas kita bersama untuk memberikan kesejahteraan kepada mereka. Kekurangan gizi yang dialami mereka pada masa kanak-kanak, terutama pada masa di bawah umur 5 tahun, termasuk masa kehamilan, dapat menyebabkan kita kehilangan sumber daya manusia yang bernilai tinggi yang mungkin setara dengan satu squadron pesawat tempur bila dihitung dalam bentuk uang.
Anak-anak yang bodoh karena kurang gizi, tidak hanya membebani orang tuanya, tetapi juga akan membebani kemajuan daerah dan bangsa. Tetapi hal itu bukan salah mereka, karena mereka dalam posisi yang lemah dan tidak memungkinkan untuk menghadapinya. Semua itu adalah kesalahan kita yang tidak memberikan mereka kesempatan yang optimal untuk tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

2 komentar:

  1. Artikel yang bagus, kak win! tapi koreksi sedikit, Umar tidak memerintahkan pelayannya mengantarkan gandum ke rumah sang ibu, tapi dia sendiri yang memikul karung gandum tersebut! ketika sang pelayan ingin membantu membawakan gandum tsb, beliau marah, "apa kah kau sanggup memikul dosaku kelak di akhirat?" Subhanallah, seandainya kita memiliki Pemimpin seperti Umar Bin Khattab, mungkin ketragisan2 yang ada saat ini tidak akan terjadi... wallahualam.

    BalasHapus
  2. itulah kemuliaan hati seorang pemimpin, andaikan di Indonesia pemimpin yang ada mendahulukan kepentingan rakyat dibandingkan pribadi...sungguh indah Indonesia yang permai ini. makasih atas koreksinya, semoga kita bisa menjadi umar-umar di masa kini yang mampu menjaga hati dan jiwa. amin

    BalasHapus